PROGRAM CSR
(corporate social responsibility)
(catatan tertinggal 2005)
PROGRAM CSR (corporate social responsibility) harus diarahkan apa yang diharapkan masyarakat lingkar usaha agar dapat mandiri dan mampu melanjutkan kehidupan ketika kegiatan usaha hulu migas nantinya tidak berproduksi lagi.
Karakteristik industri minyak dan gas (migas) merupakan komoditi strategis dan pengusahaannya mengandung resiko tinggi karena memerlukan teknologi tinggi dan modal yang sangat besar. Hingga saat ini Pemerintah Indonesia belum berani mengambil resiko untuk mendanai kegiatan usaha hulu migas melalui APBN karena dana nasional terbatas dan digunakan bagi proyek-proyek berisiko rendah yang cepat menghasilkan.
Kegiatan usaha hulu migas diperlukan pendanaan yang tidak sedikit, memilki risiko usaha cukup tinggi, serta merupakan investasi jangka panjang dengan komersialisasi investasi yang baru bisa dinikmati antara 5-10 tahun ke depan.Untuk itu diperlukan adanya pendanaan (investor) dari pihak swasta dalam maupun luar negeri.
Migas merupakan komoditi strategis bagi bangsa dan dunia serta dipengaruhi oleh lingkungan global/geostrategi. Industri migas pada dasarnya selalu berintergrasi dengan masyarakat baik mengenai obyek fisik maupun non fisik. Disamping itu industri migas pada umumnya mempunyai tingkat teknologi, pengetahuan, kemampuan, sikap dan cara hidup agak “berbeda” dari masyarakat sekitarnya.
Perbedaan-perbedaan yang ada antara industri migas dengan masyarakat serta masalah-masalah “Ideologi Politik Ekonomi Sosial Budaya Pertahanan dan Keamanan (Ipoleksosbud)” yang terjadi dan berkembang disekitar wilayah operasi hulu migas perlu diwaspadai, diarahkan dan diupayakan agar tidak menghambat kelancaran operasi hulu itu sendiri, tetapi tidak pula merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan pihak-pihak lainnya.
“Ancaman Gangguan Hambatan dan Tantangan (AGHT)”
Sebagai konsekuensi dari keberadaan kegiatan industri migas diperlukan adanya pengamanan sumber daya perusahaan Migas dari setiap “Ancaman Gangguan Hambatan dan Tantangan (AGHT)” dari beberapa aspek antara lain: akses penerapan otonomi daerah; pencemaran lingkungan atas operasi perusahan migas; perbedaan tingkat teknologi, ilmu pengetahuan, sikap, dan cara hidup masyarakat setempat dengan keberadaan operasi perusahaan hulu migas; dan gejolak masyarakat akibat “SARA”, “anarkisme”, dan “saparitisme”
Di era reformasi dan penerapan otonomi daerah peran masyarakat tidak boleh lagi dikesampingkan, untuk itu perlu memahami serta memperhatikan tuntutan yang mungkin timbul dari masyarakat agar didapatkan solusi yang tepat guna penyelesaian.
Ketika kegiatan usaha hulu migas hadir di lingkungan masyarakat tempatan, biasanya timbul ketidaknyamanan masyarakat akibat adanya perbedaan tingkat teknologi, ilmu pengetahuan, sikap dan cara hidup masyarakat dengan keberadaan operasi perusahaan.
Fakta perkembangan aktual memperlihatkan berbagai aktivitas masyarakat yang tidak kondusif terhadap kelancaran operasi perusahaan usaha hulu migas. Hal ini ditimbulkan oleh kinerja perusahaan di era prareformasi yang cenderung melupakan kaidah-kaidah bisnis modern akibat kebijakan pemerintah yang sangat sentralistik.
Di sisi lain perusahaan usaha hulu migas mendahulukan kejar target produksi dari pada kepentingan lingkar masyarakat kegiatan usaha hulu migas itu berada.
Ketika terjadi hambatan kegiatan usaha hulu migas karena gangguan yang timbul dari aktivitas masyarakat yang bersifat gejolak akibat dari aspek “AGHT”, maka tindakan untuk mengurai Hambatan baru dirasakan diperlukan, misalnya membentuk tim troubleshooter atau tim “Pemadam Kebakaran”.
Sementara itu, apabila hambatan berkelanjutan akan berakibat cost production melonjak tinggi. Belum lagi apabila penyelesaian hambatan terpaksa dilakukan melalui pendekatan “keamanan” maka akan jauh lebih tinggi cost production yang timbul dari pada pendekatan “sosial”.
Beberapa catatan sebagai ilustrasi tentang hambatan kegiatan usaha hulu “migas” yang berakibat terganggunya pendapatan negara, antara lain :
- Gangguan keamanan di Provinsi Aceh tahun 2000-2001, berakibat terhentinya pasokan gas alam ke kilang pengolahan Gas Alam (LNG Plant) PT Arun, ekspor LNG ke Jepang (Tohoku Electric Power Co dan Tokyo Electric Power Co, Inc) dan Korea (Korea Gas Corporation) serta suplai kebutuhan Gas Domestik sekitar Aceh terhenti dan berakibat:
- lima puluh tiga pengapalan ekspor LNG dari Arun terhenti. Dengan perkiraan kehilangan pendapatan negara pada Maret-Agustus 2001 yakni sekitar US$320 juta per bulan atau sekitar US$1 miliar untuk masa dihentikannya produksi.
- Meningkatnya kekhawatiran para investor dan para pembeli LNG Indonesia.
- Melemahnya potensi pemasaran LNG Indonesia.
- Melemahkan posisi tawar (bargaining position) pemerintah Indonesia terhadap pembeli LNG Indonesia.
- Gangguan keamanan akibat SARA tahun 1999 sampai dengan 2000 di Kepulauaan Maluku (Bula) yang berakibat kegiatan produksi minyak mentah dihentikan total, karena seluruh pekerja yang menganut perbedaan keyakinan sebagian di evakuasi ke Papua (Sorong).
- Gangguan keamanan dari aktivitas masyarakat di Jawa Timur terhadap kegiatan usaha hulu migas di daerah Pangkah, berakibat kegiatan uji Seismig dihentikan dikarenakan adanya anarkisme dilingkar usaha produksi.
Hambatan kegiatan tersebut di atas adalah sebagian kecil dari catatan yang ada dan berakibat juga hilangnya kesempatan pendapatan Pemerintah Pusat/Daerah sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ), serta multiplier effect lainnya yang dapat mengganggu secara nasional, serta terganggunya kegiatan ekonomi yang selama ini mendukung dan mendapatkan hasil (multiplier effect) dari adanya operasi usaha hulu migas.
Penggalangan dan pembinaan masyarakat lingkar usaha :
Sebagai konsekuensi dari keberadaan kegiatan usaha hulu migas di Indonesia diperlukan pengamanan sumber daya perusahaan (investor) yang ada dari setiap Ancaman, Gangguan, Hambatan dan Tantangan (AGHT).
Salah satu upaya agar keberadaan kegiatan usaha hulu migas Indonesia tetap berkelanjutan adalah, perusahaan (investor) bersama pemerintah pusat/daerah dan masyarakat lingkar usaha “wajib” terlibat untuk mendukung dan mengatasi masalah-masalah yang terjadi di lingkar usaha.
Artinya masyarakat tidak sekedar menjadi penonton dalam proses pengelolaan sumber daya usaha hulu migas.
Masyarakat lingkar kegiatan usaha harus menikmati kemajuan serta perkembangan ekonomi dari kegiatan yang dilaksanakan.
Sehingga masyarakat merasa turut berperan “menjaga” kelangsungan kegiatan usaha hulu migas agar terciptanya lapangan kerja dan dapat menggerakkan roda ekonomi masyarakat seputar kegiatan usaha dan dijadikan penggerak utama (prime mover) sebagai dasar dimulainya pembangunan ekonomi.
Penanganan atas suatu gejolak masyarakat disuatu kegiatan usaha yang diakhiri dengan penanganan keamanan dan jatuhnya korban dari “masyarakat”, sangat “menyedihkan” dan tidak perlu terjadi apa bila penggalangan dan pembinaan masyarakat lingkar usaha lebih dahulu dilakukan sebelum kegiatan usaha dilaksanakan.
Dalam mendukung kegiatan usaha agar tetap berkelanjutan, Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau bahasa inggrisnya Community Social Responsibility disingkat CSR perlu diterapkan.
Adanya program CSR pendanaannya dibebankan kepada penerimaan negara (cost recovery), “hal ini perlu di telaah dengan kehati-hatian jangan sampai menjadi bumerang bagi negara (pemerintah)” yang berakibat penerimaan negara terganggu.
Program CSR apabila tidak dikelola secara cermat dan kehati-hatian dapat mengarah pada proyek sosial bernuansa “korupsi berjamaah”.
Accounting Procedure dalam Kontrak Kerja sama usaha hulu migas antara pemerintah dan pengusaha adalah berbasis terbalik yakni seluruh biaya operasi produksi akan dipulihkan ketika pengusaha berhasil mendapatkan keekonomian dengan perhitungan Interest Recovery for Capital Investment in Petroleum Operation sesuai dalam perjanjian kontrak bagi hasil (75-25 / 70-30 / 90-10, dsbnya).
Artinya biaya yang dikeluarkan pengusaha akan dipulihkan terlebih dahulu dengan membebani hasil produksi sebesar 75 persen atau 80 persen dari kepentingan bagian Pemerintah.
Bila CSR dibebankan dalam “cost recovery” maka yang terbesar pembiayaan CSR adalah Negara sedangkan pengusaha hanya dibebankan 25 persen atau 30 persen atau 10 persen (tergantung kesepakatan kontrak).
Oleh karenanya apabila CSR diterapkan didalam kegiatan usaha hulu migas kiranya pendanaannya tidak ditempatkan sebagai Cost Petroleum Operation, karena CSR adalah suatu bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap lingkar masyarakat kegiatan usaha.
Oleh karenanya apabila CSR akan dibebankan dalam “cost recovery” pembebanan bagian pemerintah tidak lebih tinggi dari pembebanan pengusaha.
Terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 tahun 2008 suatu bentuk penegasan bahwa kegiatan CSR tidak terfasilitasi didalam Kontrak Bagi Hasil untuk dapat dibebankan sebagai Cost Operation Petroleum.
Program CSR adalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan bukan tanggung jawab sosial pemerintah dikaitkan dalam kegiatan usaha hulu migas secara utuh, oleh karenanya dihindari tumpang tindih tanggung jawab sosial yang telah diprogramkan dalam Anggaran Pemerintah (APBN-APBD).